12 Mar

Di Saat “Likes” Lebih Penting daripada Nilai Sekolah

Jika membicarakan mengenai media sosial, pasti tidak akan ada habisnya karena media ini selalu berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Pernah suatu hari saya berdiskusi dengan teman yang merupakan salah satu orang berpengaruh di komunitasnya (influencer), dia mengatakan, “Anak muda jaman sekarang tidak ada yang menonton tv, terkadang nulis pertanyaan di search google saja jarang. Buat mereka, tontotan dan jawaban semua terjawab di youtube dan instagram. Butuh sesuatu yang visual untuk menjawab pertanyaan mereka. Makanya, bikin vlog dong!” (walaupun ujung-ujungnya menyindir saya karena saya selalu enggan untuk membuat vlog hehehehe). Ternyata, fenomena ini juga saya temui oleh keponakan saya yang duduk di kelas lima SD. Saat ini dia sangat aktif sekali membuat vlog di akun youtube nya. Melalui vlog-nya, ia dapat membahas apa saja yang menurut dia menarik. Menanggapi hal ini pun ibunya menyampaikan bahwa follower-likes-subsriber lebih penting bagi dia daripada nilai ujian akhir matematikanya! Pusiiiing..!

Ada sebuah studi dari University of California di Los Angeles yang meneliti mengenai perilaku anak sekolah dengan media sosial, yakni mereka mendapatkan bahwa likes-loves-comments menjadi barometer sebuah pergaulan di kalangan anak sekolah saat ini. Mendapatkan ketiga hal ini seperti menjadi sesuatu yang menagih bagi anak sehingga mereka selalu mencari cara bagaimana mereka dapat menjadi popular. Jika hal ini terjadi, biasanya anak belum memahami batasan antara apa yang menjadi kehidupan pribadi mereka dan apa yang dapat dikonsumsi oleh public. Mungkin hal ini juga yang dialami keponakan saya yang duduk di lima SD itu, bahwa status dia di media sosial lebih penting daripada dalam kehidupan nyata seperti status nilai atau ranking di sekolah. Padahal untuk menjadi sukses di masa depan salah satunya dengan keberhasilan di sekolah, walaupun tidak dipungkiri keberhasilan di dunia sosial juga.

Teknologi mungkin saja selalu berubah dengan pesat seiring dengan waktu, tetapi adalah hal yang penting supaya anak memiliki kemampuan berpikir kritis dan memiliki tanggung jawab dalam kehidupan mereka. Kemampuan ini dapat diajarkan oleh orang tua kepada anak. Sebagai orang tua, kita dapat menjelaskan kekhawatiran kita tetapi di sisi lain orang tua juga berusaha menghormati dan terbuka dengan situasi sosial yang dimiliki anak. Maka dari itu, bantu anak untuk membentuk batasan dalam postingan di media sosial. Seperti yang akhirnya dilakukan oleh saudara saya kepada anaknya, saat ini dia membuat aturan bahwa sebelum keponakan saya membuat vlog maka dia perlu menceritakan jalan cerita sebelum disetujui ibunya untuk dapat diposting ke youtube. Hal ini menjadi salah satu usaha sang Ibu untuk mengontrol penggunaan media sosial pada anaknya.

Dalam sebuah studi yang dipaparkan New York Times, ternyata masih banyak orang tua yang jarang membahas mengenai isi media sosial yang dimiliki anak. Bahkan sebaiknya bahasan-bahasan ini dilakukan sebelum anak memiliki sosial media. Orang tua perlu mengetahui ada aturan yang berlaku pada kelompok yang diikuti anak, misalnya orang tua dapat bertanya “Apa yang biasanya teman-teman kamu posting?”, “Apakah teman cewek dan cowok kamu ada perbedaan dalam memposting di media sosial?”, “Kalau postingan yang keren itu kayak gimana sih?”, “Pernah tidak kamu tersinggung dengan komen yang dilakukan orang lain terhadap dirimu?”, “Siapkah kamu menerima komentar negatif secara terang-terangan dari orang lain?dan lainnya. Diharapkan dengan mengetahui ini, kita sebagai orang tua dapat membantu anak membuat batasan kira-kira, hal apa ya yang dapat kita posting, komentar apa ya yang dapat dibuat pada kolom orang lain, atau bagaimana menanggapi jika mendapatkan feedback negatif dari orang lain.

Sumber: http://rumahdandelion.com

Leave A Comment