Cara Mendidik Anak Agar Memiliki Kecerdasan Untuk Bertahan Hidup (Adversity Quotient)
ADVERSITY QUOTIENT. Sahabat pencinta quran, pernahkah Anda mendengar tentang istilah Adversity Quotient ? Barangkali belum banyak yang mengetahui atau mendengar istilah tersebut. Adversity Quotient adalah sebuah istilah bagi kemampuan atau kecerdasan dalam menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan untuk bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami (“Adversity Quotient”, Paul G. Stoltz). Kebanyakan dari kita orang tua, paham bagaimana cara mendidik anak kita untuk mengembangkan IQ (Intelegent Quotient) atau kecerdasan intelektual. Pertanyaannya adalah seberapa besar anak-anak kita menggunakan IQ dibandingkan dengan AQ ?Mari kita lihat bersama-sama.
Pernahkah Anda mencoba untuk membetulkan keran sendiri ? Pasang lampu bohlam di rumah sendiri ? Ganti ban motor atau mobil yang bocor di jalan sendiri ? Me-lem sesuatu yang sdh terlanjur patah ? Membuka botol kaca yang Allahuakbar sangat susah sekali dibuka ? Bagi para bunda pernahkah bunda memasak sambil menggendong anak bahkan di sambi dengan menaruh pakaian kotor ke mesin cuci ? Menyetrika sambil bicara dengan mertua di telepon dan kaki menggoyang-goyangkan bouncer agar bayi mungil bunda tidak bangun dan menangis tanpa henti ?
Hidup ini penuh dengan masalah, cobaan, kesulitan, tantangan dan pekerjaan susah yang kadang mau tidak mau harus kita jalani. Bagi kita yang tinggal di Indonesia, barangkali masih lebih enak dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang tinggal di negara maju. Disini, pembantu, tukang air/ledeng, tukang bangunan, supir relatif mudah dimintakan pelayanannya dan terjangkau biayanya. Berbeda dengan saudara-saudara kita yang hidup di negara maju, mereka tahu betul bahwa pelayan dan pelayanan semua itu diluar jangkauan saku kita pada umumnya. Bagi para pekerja saja belum tentu bisa membayar jasa mereka, apalagi bagi para mahasiswa yang keluar negeri untuk menuntut ilmu, mengejar S2 atau S3.
Kita tidak tahu apakah anak kita akan berada dimana di bagian bumi Allah ini nantinya, izinkan dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Jangan memainkan semua peranan, ya jadi ibu, ya jadi koki, ya jadi tukang cuci,. Ya jadi Ayah, ya jadi tukang ledeng, ya jadi supir.
Anda bukanlah anggota tim SAR, anak Anda tidak dalam keadaan berbahaya, berhentilah memberikan bantuan bahkan ketika sinyal S.O.S nya tidak ada.Janganlah selalu membantu dan memperbaiki semuanya.
Anak mengeluh sedikit karena puzzle tidak bisa nyambung menjadi satu, “…sini…ayah bantu”. Botol minum yang ditutup rapat sehingga sedikit susah untuk dibuka, ” …sini…mama saja yang buka…”. Sepatu bertali lama diikat saat sekolah sudah hampir telat,”….sini biar Ayah aja yang bantuin…”. Kecipratan kentang minyak goreng saat sedang menggoreng kentang, “… sudah sini mama saja yang gorengin…”.
Kapan anak Anda bisa ? Jangankan di luar negeri, di Indonesia saja pembantu sudah semakin langka. Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, apa yang akan terjadi saat bencana benar-benar terjadi ?
Berikan anak-anak kesempatan untuk memecahkan masalahnya dan menemukan solusi mereka sendiri. Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi merupakan keterampilan/skill yang wajib dimiliki. Dan keterampilan/skill itu hanya bisa diperoleh dengan latihan dan jam terbang. Tanpa latihan memecahkan masalah sendiri dan menemukan solusi maka mustahil keterampilan/skill tersebut bisa dimiliki.
CARA MENDIDIK ANAK AGAR MEMILIKI ADVERSITY QUOTIENT
Mendidik anak saat ini haruslah dibarengi dengan ilmu, ya ilmu tentang pendidikan dalam keluarga. Salah satunya adalah ilmu tetang bagaimana membentuk kemampuan anak dalam bertahan menghadapi segala kesulitan dan tantangan dalam kehidupannya. Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan. Bukan saja bisa membuat seseorang lulus dan melewati jenjang pendidikan / sekolah tinggi, tetapi juga lulus melewati ujian dan berbagai badai dalam kehidupannya kelak. Tampak sepele saat ini…karena barangkali pemikiran orang tua adalah, apa yang salah dengan membantu anak ? Bukankah itu bukti perwujudan kasih sayang orang tua kepada anak ?
Sesungguhya dalam jangka panjang sikap dan “kasih sayang” seperti itu malah akan menjerumuskan anak Anda dalam lembah kesulitan di masa depannya kelak. Anak Anda akan menjadi pribadi yang ringkih, mudah layu sebelum berkembang. Tidak memiliki daya juang dan daya tahan terhadap perubahan yang terjadi dilingkungannya, termasuk dalam menghadapi persaingan dan masalah. Sedikit saja menghadapi kesulitan, segera meminta bantuan orang tua. Bertengkar sedikit dengan pasangannya, solusinya memilih untuk bercerai. Sakit sedikit mengeluhnya luar biasa. Masalah sedikit, bisa jadi gila bahkan memilih bunuh diri.
Kalau saat ini Kita menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan biaya untuk membentuk IQ-nya, maka habiskanlah hal yang sama untuk pembentukan AQ-nya juga. Bukankah kecerdasan ini yang jadinya lebih penting untuk mereka dalam menjalani dan menghadapi kehidupan serta masalah sehari-harinya ?
Itulah kecerdasan yang dicontohkan oleh para rasul dan nabi utusan Allah SWT. Nabi Nuh dengan ketabahan dan sifat pantang menyerahnya saat berdakwah hingga ratusan tahun lamanya. Nabi Yusuf yang mengalami berbagai cobaan dalam kehidupannya hingga menjadi manusia pilihan. Nabi Ayyub yang terkenal dengan kesabarannya dalam menghadapi masalah dan cobaan dari Allah SWT sehingga mendapatkan kemuliaanya. Nabi terakhir dan manusia terbaik pilihan Allah SWT, Muhammad SAW yang kita tahu bagaimana perjalanan hidupnya dari sejak lahir hingga wafatnya, yang penuh dengan berbagai penderitaan, cobaan dan tantangan yang akhirnya menjadi contoh teladan terbaik bagi umat manusia.
Perasaan mampu melewati ujian, merupakan suatu anugerah yang luar biasa nikmatnya. Bisa merasakan bagaimana kebahagiaan saat mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai dari masalah yang sederhana hingga masalah sulit akan membentuk sikap percaya diri. Percaya pada kemampuan diri sendiri, dan meminta pertolongan orang lain hanya dilakukan bila sudah benar-benar tidak mampu. Setelah melakukannya berkali-kali, mencobanya berulangkali tanpa mengenal kata menyerah dalam waktu yang lama.
Jadi, sudah saatnya kita mengizinkan anak kita melewati berbagai kesulitan. Tidak masalah mereka akan mengalami sedikit luka, sedikit menangis, sedikit kecewa, sedikit telat, dan sedikit kehujanan. Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan. Ajari mereka bagaimana menangani rasa frustasi, kesal, sedih dan kecewa tapi tetap mampu berpikiran positif dan melangkah maju.
Kalau kita selalu menjadi ibu peri atau malaikat penyelamat anak-anak kita, bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka saat kita telah tiada. Bisa-bisa mereka pun ikut mati bersama kita. Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih. Apalagi sebagai orang tua insting pertama yang akan muncul adalah keinginan untuk melindungi. Jadi sesungguhnya melatih AQ anak kita adalah ujian buat kita sendiri sebagai orang tua.
Tapi sadarilah bahwa kesulitan akan selalu ada, karena sudah merupakan sunatulah dari sang Maha Kuasa sebagaimana firman-Nya dalam Alquran surat Al-Baqarah 155-156 :
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”[101]. (Al Baqarah: 155-156)
Orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang mampu bertahan melewati berbagai cobaan dan kesulitan dengan tetap memiliki keyakinan bahwa semua berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
“Permata hanyalah arang … yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik”
Semoga kita senantiasa diberikan keikhlasan dan kelapangan dada ketika berproses membesarkan mereka dengan cara mendidik anak yang benar, agar mereka kelak bisa menjadi manusia-manusia yang tangguh dan mampu menjadi permata-permata di muka bumi Allah yang sangat luas ini.
Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin.
sumber utama : Komunitas Parenting Islami, Ibu Elly Risman (Senior Psikolog dan Konsultan)